DOSA MENGINTIP

DOSA MENGINTIP

by : Sekolah Minggu

“Ugh… apa sih artinya ini?” ujar Timmy sambil mengusap-usap matanya menahan kantuk. Dibacanya sekali lagi ayat itu. “Hati-hati dosa mengintip,” dia bergumam.

Hari itu adalah hari kedua Timmy memenuhi janjinya kepada Tuhan. Ya, dia berjanji akan membaca seluruh Alkitab sebelum lulus SD. Bahan bacaan hari itu adalah dari Kejadian pasal 3-4. Rasanya banyak sekali yang harus dibacanya.

“Aneh sekali, memangnya dosa itu seperti manusia yang bisa mengintip?”

Timmy membayangkan bentuk dosa sebagai manusia. Mungkin matanya melotot, rambutnya berantakan, dan badannya kurus kering. Timmy tersenyum geli membayangkan hal itu.

Timmy menutup Alkitabnya. Pasal 4 sudah selesai dibacanya dan sudah waktunya tidur. Kata-kata dosa mengintip tetap melekat di pikirannya, namun akhirnya dia terlelap juga.

KRIIING… KRIIING… KRIIING…! Timmy membuka matanya, melirik ke arah jam weker berbentuk bola miliknya, jam5.30. Dengan sedikit malas Timmy bangun. Ia mematikan wekernya dan masuk ke kamar mandi.

Lima belas menit kemudian dia sudah duduk di meja makan. Di hadapannya tersedia nasi goreng telur andalan Mama. Papa menyusul duduk di meja makan tidak lama kemudian. Ia sudah berpakaian rapi, siap menuju kantor.

Timmy selalu membonceng papanya ke sekolah karena sekolahnya berada di jalan yang sama dengan kantor papa. Ini sangat menguntungkan Timmy. Dia tidak perlu naik kendaraan umum seperti kebanyakan teman-temannya.

Waktu menunjukkan pukul 06.15 ketika Timmy tiba di sekolah. Suasana masih agak sepi, dan biasanya akan mendadak ramai jika waktu masuk sekolah tinggal 15 menit lagi.

Letak kelas Timmy persis berseberangan dengan pintu gerbang sekolah.Dia harus melintasi halaman sekolah untuk sampai di kelasnya. Sambil berjalan dengan iseng Timmy menendang-nendang batu kecil yang ditemukannya. Dia membayangkan batu itu adalah bola sepak.

“Kapan ya aku bisa membeli bola sepak….?” gumam Timmy.

Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu berwarna merah di tanah. Timmy membungkuk. Dia terkejut ketika menyadari kalau itu adalah uang kertas Rp. 100.000.

Ide yang muncul pertama kali dalam pikirannya membuatnya sangat senang. “Asyiiik… akhirnya akuĀ  bisa membeli bola sepak.”

Timmy membayangkan bola bundar hitam putih itu sudah menjadi miliknya. Bahkan dia sudah membayangkan siapa saja yang akan menjadi tim sepak bolanya, warna kaos yang akan mereka pakai kalau sedang bermain, dan siapa saja yang akan dia ajak untuk menjadi tim lawan main mereka. Wuiiihhh, harapannya sudah selangit.

Ketika dia hendak mengambil uang itu, terdengar suara temannya, Robin, memanggilnya dengan keras. “Timmy…! Tunggu aku…!”

Takut ketahuan dan terlihat oleh Robin, Timmy cepat-cepat menginjak uang itu dan berdiri tegak. Robin datang terengah-engah, “Ah… akhirnya. Yuk, Tim, kita ke kelas.”

Timmy diam saja, berdiri mematung, tidak tahu harus menjawab apa.

“Loh? Ayo, tinggal 10 menit lagi bel berbunyi, loh…” Robin menarik tangan Timmy.

Tergagap-gagap Timmy menjawab, “Eh…. sebentar, kakiku kesemutan. Kamu duluan tidak apa-apa, Robim.”

“Oh… kesemutan? Biasanya tidak lama sembuh. Aku tunggu saja ya supaya kita bisa sama-sama ke kelas.”

Aduh, celaka! pikir Timmy. Bagaimana caranya supaya Robin pergi? Robin harus pergi terlebih dulu sehingga dia bisa mengantongi uang itu.

“Jangan, Robin! Kasihan kamu, nanti terlambat. Kamu duluan saja, nanti aku menyusul, ya….”

“Ah, tidak apa kok, Tim.”

“Kamu tidak ada tugas piket?”

“Tidak, tugas piketku besok. Kita satu grup, kan?”

Waduuuhhh…. Robin tetap berkeras. Timmy semakin kebingungan dan mulai jengkel. Akhirnya dia berkata ketus, “Robin, kamu pergi duluan bisa tidak, sih! Jangan menyebalkan seperti itu!”

Robin terkejut. Kenapa Timmy tiba-tiba marah? Tanpa bicara lagi, dia berlari meninggalkan Timmy.

Timmy bernapas lega dan bergumam, “Akhirnya….”

Timmy mengambil uang itu. Saat itu dia teringat telah menbentak Robin. Rasa bersalah menyelinap di hatinya.

“Ah, tidak apa. Nanti juga dia akan tetap bermain bersamaku.”

Tetapi, Timmy merasakan ada hal lain yang tidak beres. Sementara kakinya melangkah perlahan, jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya, secepat mobil balap mungkin.

Timmy tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Dia tahu apa sebenarnya yang salah. Dia telah mengambil uang yang bukan miliknya! Itu salah. Tetapi, dia berusaha menghibur diri dengan berkata di dalam hatinya, kalau uang itu toh tidak ada pemiliknya.

Bel berbunyi, Timmy tiba tepat di depan kelas, menyusul teman-temannya yang sudah berbaris rapi. Dia berdiri di barisan paling belakang. Setelah barisan rapi, Bu Anita mempersilahkan murid-muridnya masuk ke dalam kelas satu per satu. Terjadi pertentangan di hati Timmy antara mengambil atau melaporkan uang yang ditemukannya itu kepada Bu Anita.

Barisan terus berjalan masuk. Pertentangan di hati Timmy semakin hebat. Akhirnya Timmy tepat berhadapan dengan Ibu Anita yang berdiri dengan sikap anggun dan berwibawa. Timmy pun menyodorkan uang kertas Rp 100.000 itu dan berkata, “Bu Anita, tadi saya menemukan uang ini di halaman sekolah.”

Setela ituĀ  pertentangan di hati Timmy reda. “Tadi itukah yang disebut ‘dosa mengintip’?” pikir Timmy. “Tuhan, ampuni aku,” doanya dalam hati. “Terima kasih, Tuhan sudah mencegahku berbuat dosa.”

Artikel bersumber dari : Majalah Anak

Posted in Cerita Alkitab, Cerita Sekolah Minggu
Tags: , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *

5,386 Spam Comments Blocked so far by Spam Free Wordpress

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.