Charles Haddon Spurgeon Menjadi Imam di London

Tahun 1854 Charles Haddon Spurgeon Menjadi Imam di London

By Sekolah Minggu

Charles Haddon Spurgeon“Tentunya itu suatu kekeliruan.”

Itulah yang dipikirkan Charles Spurgeon ketika dia diminta berkhotbah di Kapel New Park Street, di London. Tempat itu adalah gereja yang bergengsi, dengan bangunan tua yang indah, dan Spurgeon saat itu baru berumur sembilan belas tahun.

Namun, sama sekali tidak ada kekeliruan, karena setelah Spurgeon bicara, ia diundang untuk menjadi pendeta gereja tersebut. Ia memegang jabatan itu selama hampir empat dekade.

Spurgeon hampir bukan merupakan tipe orang yang menyadari kelasnya dalam masyarakat London. Ia dilahirkan di kalangan Huguenot, di suatu pedesaan di Essex. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya ketika ia masih kecil, karena orang tuanya terlalu miskin untuk merawat dia. Nenek dan ayahnya adalah pendeta Kongregasionalis, tetapi Charles masuk ke sekolah pertanian – meskipun hanya untuk beberapa bulan.

Bergumul dengan kebutuhan jiwanya, Spurgeon bertekad pergi ke gereja pada hari Minggu pertama tahun 1850. Topan salju menghambat kepergiannya ke gereja sesuai rencananya, namun ia berhenti di sebuah kapel Methodis Primitif terdekat. Pembicaranya bodoh, seperti yang diingat Spurgeon, tetapi hal itu merupakan tantangan bagi Charles muda ini. Akibatnya, Charles Spurgeon menjadi Kristen dalam usia enam belas tahun.

Tidak lama kemudian, Spurgeon menyadari bahwa ia mempunyai bakat berbicara. Pada tahun 1852 ia menjadi gembala sebuah gereja Baptis kecil di Waterbeach. Daerah itu sungguh rawan dan orang-orangnya terkenal pemabuk. Spurgeon mengembangkan gaya langsung. Para pendengarnya tidak akan betah dengan keterangan-keterangan teologi yang menggunakan kata-kata indah, oleh sebab itu ia memberitakan kepada mereka apa yang dikatakan dalam Alkitab. Berita tentang “pengkhotbah muda” ini telah tersebar di Waterbeach. Itulah waktunya ketika sidang Kapel New Park Street memutuskan memberi dia kesempatan.

Gereja itu pernah mempunyai sejarah yang dapat dibanggakan, tetapi jatuh pada masa-masa kesukaran. Gedung yang indah itu dapat menampung lebih dari seribu orang, namun akhir-akhir itu untuk mengumpulkan seratus orang saja sudah sulit bagi sidang di sana. Delapan puluh orang menghadiri pelayanan pembukaan Spurgeon. Mungkin pengkhotbah muda ini dapat melakukan sesuatu.

Ia melakukannya. Gaya langsungnya membuat para warga London mengakui kata-katanya. Pengunjung kebaktian pun menjamur. Tidak lama kemudian gedung kuno itu penuh sesak. Gereja tersebut terpaksa harus menyewa gedung pertemuan Exeter Hall yang menampung 4.500 orang.

Pertumbuhan cepat seperti ini menarik perhatian pers London, yang pemberitannya tentang pengkhotbah baru itu tidak selalu menyenangkan. “Semua pidatonya berbau busuk dan vulgar,” tulis sebuah harian. Harian lain menyebut “Gaya seperti itu berasal dari bahasa pasaran yang vulgar, diselingi gaya yang kasar …. Semua misteri khidmat agama kita yang suci olehnya diperlakukan dengan kasar. Inilah khotbah yang didengar 5.000 orang”.

Jumlah itu menjadi 10.000 – dan lebih. Dalam waktu singkat gedung pertemuan itu sudah tidak sanggup menampung para pendengar Spurgeon. Gereja menyewa gedung Surrey Music Hall yang berkapasitas 12.000 tempat duduk dan penuh juga, sementara 10.000 orang lagi menunggu di luar. Malngnya, upacara pembukaan di sana membawa bencana. Beberapa perusuh berteriak “kebakaran”! Dalam kepanikan, tujuh orang meninggal dunia dan 27 orang luka parah. Dengan insiden ini pun keberadaan Spurgeon belum disukai pers London.

Akan tetapi pada tahun 1860-an, kegairahan baru akan evangelikal di Inggris, dan Spurgeon berada di tengah-tengahnya. Para ahli sejarah menyebutnya Kebangkitan Evangelikal Kedua. Para pengkhobah lain, seperti Alexander Maclaren di Manchester dan John Clifford di London, juga menarik massa. Menjelang 1861, Kapel New Park Street telah membangun fasilitas baru, Metropolitan Tabernacle, yang memuat 6.000 pengunjung. Pelayanan Spurgeon baru berawal. Ia menerbitkan khotbah-khotbahnya serta ulasan-ulasan dan buku-buku renungan – seluruhnya 140 buah buku, semasa hidupnya. Ia mendirikan sekolah pendeta dan panti asuhan Stockwell yang mengasuh 500 anak. Ia menjadi presiden perkumpulan pembagi Alkitab. Ia berkhotbah di mana saja dan kapan saja.

Gaya Spurgeon mungkin sederhana dan langsung, namun ia bukanlah seorang teolog. Ia adalah seorang Baptis Calvinistik. Bagaimanapun, perpaduan tradisi ini telah membantu membawa struktur Calvinisme ke agama kelas bawah dan menyajikan iman Baptis pada gereja-gereja kelas atas.

Bakatnya adalah berkomunikasi. Dengan membaca karya-karyanya sekarang, kita menemukan kekuatan modern di dalamnya. Ingatlah bahwa ia hidup apda zaman bergaya: Apa yang Anda katakan tidaklah selalu begitu penting daripada bagaimana Anda menyampaikannya. Namun Spurgeon tidak mempunyai waktu untuk berbasa-basi dengan sopan. Ia menggunakan gambaran kuat dan pilihan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya secara langsung. Dalam melakukan hal itu, ia telah memberikan contoh bagi para pengkhotbah yang akan datang. Karya-karya tulis “pangeran pengkhotbah ini” sampai hari ini terjual luas.

sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html

 

Posted in Tokoh Kristen
Tags: , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *

5,671 Spam Comments Blocked so far by Spam Free Wordpress

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.