PERTANDINGAN MEMBAWA NIKMAT
by : Sekolah Minggu
Sudah hampir pukul 3 sore. “Kenapa Tony belum datang juga?” Harry menunggu dengan gelisah di teras rumahnya. Sebentar-sebentar ia melihat jam tangannya, sebentar-sebentar melihat ke sebelah kanan rumahnya. Waktu rasanya berjalan lambat sekali….
“Aduuuuhh, ke mana sih Tony? Lama sekali!” gerutunya. Mukanya mulai cemberut dan hampir saja ia mengangkat HP-nya untuk mengirim SMS ke Tony ketika tiba-tiba terdengar suara dering bel sepeda. Seketika mukanya kembali cerah. Dengan bersemangat dia menuntun sepedanya keluar teras. Sekilas dia melihat jamnya, pukul 3 tepat. “Sebetulnya Tony tidak terlambat, sih. Mungkin aku yang kurang sabar…,” pikirnya.
“Hai, Harry! Sudah siap? Kamu membawa bolanya?”
“Beres! Nih, bolanya!” Harry menunjuk ke tas plastik yang tergantung di setang sepedanya.
“Oke! Yuk, kita jemput yang lain!” sahut Tony sambil mengayuh sepedanya.
Harry mengikuti di samping Tony. Mereka akan menuju rumah Steven, Christian, Nanang, dan Ria. Kebetulan sekali mereka semua tinggal di Blok yang berurutan, Tony di Blok A, Harry di Blok B, Steven di Blok C, Christian di Blok D, Nanang di Blok E, dan Ria di Blok F. Kebetulan yang aneh tetapi menyenangkan.
Tidak lama kemudian Steven dan Christian sudah bergabung dengan mereka, disusul dengan Nanag, dan terakhir mereka akan bersama-sama menuju rumah Ria.
Tiba di depan rumah Blok F no.2, beramai-ramai mereka membunyikan bel sepeda masing-masing. Ribut sekali. Mereka berhenti membunyikan bel setelah mama Ria keluar.
“Halo, anak-anak. Mau jemput Ria, ya?”
“Ya, Tante,” sahut mereka serempak.
“Ria ada, Tante?” tanya Christian mewakili teman-temannya.
“Ada. tante sedang minta dia membungkus kue-kue dan minuman untuk kalian nanti. Ditunggu sebentar, ya….”
“Halo, semuanya. Berangkat, yuk. Aku sudah siap,” tiba-tiba terdengar suara melengking dari arah rumah.
Ria memang tidak seperti anak perempuan biasa. Dia suka sekali bermain dengan anak laki-laki dan permainan-permainan anak laki-laki, meskipun dia juga tidak menolak kalau bermain bersama teman-teman perempuannya. Untung saja rambutnya tidak pendek, waduh, bisa-bisa makin mirip laki-laki nanti.
Kalau ditanya mengapa dia suka bermain bersama anak laki-laki, dia hanya mengangkat bahu sambil menjawab, “Tidak tau, ya. Suka saja.”
Ria keluar sambil menggendong ransel yang tampaknya penuh dengan makanan kecil dan minuman. Tante Mira, mama Ria, memang baik dan perhatian.
“Hati-hati, ya…,” pesan Tante Mira.
“Ya, Tante,” sahut mereka kompak.
“Dan terima kasih untuk kue dan minumannya,” lanjut Harry.
Tante Mira melambaikan tangannya, melepaskan kelompok anak-anak itu pergi.
Lapangan sepak bola tidak jauh dari rumah Ria. Sebetulnya lapangan sepak bola itu tidak termasuk di dalam kompleks perumahan mereka, tetapi berada dalam lingkungan kampung sebelah kompleks. Namun, penghuni kompleks diijinkan memakaiĀ lapangan sepak bola tersebut, sebaliknya penduduk kampung boleh memakai fasilitas oleh raga di kompleks mereka.
Hari itu sepi. Hanya mereka berenam yang ada di lapangan yang luas. Setelah membagi group, menentukan lapangan, dan menentukan cara bermain, mereka mulai bermain sepak bola.
Teman-teman Ria memilihnya menjadi penjaga gawang dan tidak mengizinkannya menjadi pemain. Ria protes. Setelah berdebat selama 5 menit, akhirnya Ria mengalah.
Meskipun hanya berenam, permainan mereka sangat seru. Lapangan itu terlalu besar dibandingkan dengan jumlah pemain. Jadi, mereka hanya menggunakan setengah lapangan saja, dan itu pun sudah cukup luas.
Rupanya mereka cukup mahir memainkan bola. Pertandingan sudah berjalan 15 menit, dan masih belum ada gawang yang jebol. Saking bosannya, Ria duduk-duduk santai di rumput. Dan Tony penjaga gawang tim lawan malahan asyik merekam pertandingan dengan HP-nya.
Harry berlari menuju gawang lawan sambil membawa bola. Christian mengejar dari belakang. Sementara itu Steven, teman satu tim Harry, melesat meninggalkan Nanang mendekati gawang yang dijaga oleh Ria.
Ria terkejut, cepat-cepat dia berdiri dan bersiap menjaga gawangnya. Harry menendang bola ke arah Steven yang menerima bola itu dengan tepat. Suatu hal yang jarang terjadi sebetulnya. Lalu, dengan sekuat tenaga Steven menendang bola ke arah gawang.
Ria, dengan gaya penjaga gawang sejati seperti yang dia lihat di TV, sedikit membungkukkan badannya dan bersiap untuk menangkap bola. Matanya memandang tajam, berusaha melihat arah larinya bola.
Bola itu melayang. Ria melompat berusaha menangkapnya. Lolos Ria terjatuh. Bola terus melayang dan mendarat dengan mulus di dalam sebuah rumah penduduk, setelah terlebih dahulu memecahkan kaca jendelanya.
Ria yang semula meringis karena kesakitan, jadi sembuh mendadak. Suara “Prangg” dari kaca yang pecah terdengar sangat keras. Mereka terdiam, memandang ke arah rumah yang kaca jendelanya menjadi bolong itu.
Suara Tony memecahkan keheningan, “Ayo, kita lari saja!”
Mereka saling berpandangan. Masing-masing memikirkan kemungkinan yang terjadi kalau mereka tidak lari atau kalau mereka lari.
“Jangan lari! Itu tidak benar!” timpal Ria.
“Lari saja! Nanti kita dipukul!”
“Jangan! Ria benar!”
“Lari saja, yuk. Aku takut.” Suara mereka bersahut-sahutan.
Artikel bersumber dari : Majalah Anak
Leave a Reply