Gunjingan merusak nama baik

Gunjingan merusak nama baik

by Sekolah Minggu

Air di sawah memantulkan bayangan batang padi berwarna hijau muda pada musim panas. Di atas sebuah jalan kecil, Toyohiko berbaring dengan kepala yang ditopang kedua sikunya, memandang pinggiran kota yang ia cintai.

                          Permukaan tanah yang berada di bawah perutnya terasa dingin, akan tetapi sinar matahari terasa hangat di kepalanya yang tercukur licin. Kedua telinganya dipenuhi dengan musik dengungan para serangga. Seekor kumbang berlari cepat dengan tiba-tiba melewati jalan kecil itu, tersandung dan terjungkal untuk beberapa saat dan dengan kalut menggerak-gerakkan kaki-kakinya di udara.

      ” Jangan kuatir, saudara kecil,” anak laki-laki itu berbisik. “Saya tidak akan  menyakitimu.” Dengan hati-hati dia meraih dan membalikkan serangga kecil itu. Dan kumbang itu bergegas ke tepi jalan.

      Dengan perlahan anak laki-laki itu berdiri. Sore ini dia harus meninggalkan desanya. Dia akan naik kereta api ke kota Tokushima. Pamannya berkata bahwa dia harus naik sebuah angkong dari stasiun kereta menuju asrama. Tidak seorang pun akan melihat keponakan dari orang terkaya di kawasan itu berjalan kaki menyusuri kota seperti anak seorang miskin. Anak laki-laki itu menghela napas dan mulai menyusuri rumah pertanian yang luas itu.

      Dia img059melewati kincir air. Seorang gadis kecil jatuh dari kincir yang tinggi, petani tetangga berkata. Namun teman-teman sekelasnya bergunjing bahwa Toyohiko yang telah melukai gadis kecil itu. Dia menatap kedua tangan kecilnya dengan jari-jarinya yang ceking. Sebelum meninggal, ibunya pernah memanggilnya dengan sebutan “jari-jari seorang seniman.” Bagaimana mungkin ada orang berpikir bahwa tangan ini akan melukai seorang anak kecil?

      Ibu tirinya telah berpikir demikian. Anak laki-laki ini telah melakukannya, setalah semua hal yang telah terjadi, seorang anak yatim piatu-anak haram dari suaminya yang telah meninggal.

      “Dia seharusnya jangan pernah datang ke sini,” ibu tirinya berkata kepada adik iparnya. “Saya tahu dia tak lain hanyalah pembuat masalah seperti ibunya yang jahat sebelum dia. Sekarang mereka berkata dia bertanggungjawab atas kematian gadis kecil itu.”

      Tidak masalah bahwa gunjingan itu salah. Toyohiko yang berumur sepuluh tahun itu yakin bahwa pembicaraan yang buruk itu telah merusak kehormatan keluarga Kagawa. Dan dia harus pergi.

      “Biarkan saya pergi ke sekolah menengah pertama yang ada di kota,” dia berkata pada pamannya. “Saya bisa tinggal bersama abang saya di asrama.”

      Pamannya bimbang. Anak laki-laki ini masih kecil, namun dia jauh lebih pintar dibanding dengan anak laki-laki yang ada di sekolah di desa itu. Kecemburuan mereka sudah terbukti berbahaya. Anak laki-laki ini terlalu peka. Lagipula, dia pekerja keras dan berperilaku baik, tidak seperti abangnya. Berharap, dengan pendidikan yang layak, Toyohiko mungkin menjadi seorang ahli waris harta milik Kagawa.

Belajar Banyak Pelajaran 

       “Ayo, Toyohiko! Mengapa kamu selalu meletakkan hidungmu di dalam buku?” Anak laki-laki di asrama itu tidak pernah memberinya ketenangan. Abangnya adalah yang paling buruk dalam banyak hal, menjudikan uang pamannya, minum ketika seharusnya dia belajar, pergi hingga larut malam bertemu perempuan tak dikenal.

      Tidak ada padang hijau untuk melarikan diri. Asrama itu begitu dingin dan gelap. Dia tidak berani berteman dengan tikus. Anak laki-laki yang lebih tua darinya tidak akan berhenti mengejeknya jika mereka mengetahuinya.

      Dia sudah sering kesepian pada umur enam semenjak kematian kedua orangtuanya tetapi tidak pernah merasa kesepian seperti sekarang ini. “Belajar,” dia memerintahkan dirinya sendiri untuk mencoba melupakan kesedihannya.

      Suatu hari dia melihat sebuah tulisan: “Kelas Alkitab Berbahasa Inggris, pikirnya. Dia memutuskanuntuk membuat pamannya bangga padanya.

      Lelaki yang bertemu dengannya di depan jalur masuk berwajah merah dan berhidung besar. Toyohiko mencoba untuk tidak menatapnya.

      “Saya datang untuk belajar bahasa Inggris,” ucapnya, suaranya gemetar. Dia belum pernah melihat seorang asing sebegitu besar sebelumnya.

      “Selamat datang, selamat datang. Nama saya Myers,” lelaki itu menyapa dengan ramah sehingga Toyohiko lupa akan perasaan gugupnya. Dia melepaskan sepatunya dan melangkah naik ke rumah asing tersebut. Tidak berapa lama, dia pun merasa senyaman berbaring di padang saat memandangi serangga-serangga.

      Oh, cerita-cerita yang orang Amerika itu ceritakan! Dia menceritakan tentang seorang yang hidup di zaman dulu yang tampaknya menyukai pinggiran kota seperti halnya Toyohiko.

      “Lihatlah bunga Bakung,” Yesus berkata, “dan bagaimana mereka bertumbuh. Mereka tidak bekerja keras, juga tidak perlu mereka memintal. Namun Raja Salomo dalam keagungannya tidak didandani seperti salah satu dari bunga itu.”

      Minggu demi minggu, Toyohiko mengikuti kelas itu. Kemudian datanglah suatu malam yang mengerikan. Profesor Myers menceritakan tentang kematian Yesus yang kejam. Para prajurit memantekkan paku-paku menembus tangan dan kaki-Nya serta menggantung-Nya di atas salib.

      Mengapa?” tanya Toyohiko. “Mengapa ada yang membunuh orang yang begitu luar biasa ini? Dia selalu begitu ramah dan baik.”

      “Dia membiarkan merekamelakukannya,” kata Profesor Myers.

      “Saya tidak mengerti. Mengapa, mengapa Dia membiarkan mereka membunuh-Nya?”

      “Dia mati untuk mereka karena Dia begitu mengasihi mereka,” guru itu berkata dengan lembut.

      “Oh, Tuhan,” kata-kata itu meledak keluar, “jadikan aku seperti Yesus.”

Pengikut yang Ketakutan 

      Sejak malam itu, Toyohiko menjadi seorang pengikut Yesus (Kristus), namun dia merahasiakan imannya. Dia tidak mau anak-anak di asrama mengganggunya lebih dari yang sebelumnya mereka lakukan padanya. Selain itu, dia tahu bahwa ketika dia menyebut dirinya seorang Kristen pamannya akan mencabut hak warisnya.

      Dia sekarang berumur 15 tahun hampir menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya ketika Profesor Myers membawanya ke samping setelah kelas pada suatu malam.

      “Kagawa San,” dia berkata, “pernahkah kamu berdoa?”

      “Ya,” jawab Toyohiko. “Sebelum saya tidur setiap malam. Saya berdoa di bawah selimutku.”

      “Apakah kamu malu pada Yesus?”

      “Oh, tidak.” Bagaimana Profesor Myers berpikir bahwa dia malu pada Yesus? Dia mengasihi Yesus.

      “Namun kamu tidak mau orang lain tahu bahwa kamu berdoa,” gurunya berkata dengan sedih. “Apa yang akan terjadi jika kamu dibaptis?”

      Anak laki-laki itu terkejut. Tidakkah Profesor Myers mengerti?

      “Saya tidak pernah dapat dibaptis,” katanya. “Pamanku akan mengeluarkanku dari keluarga.”

      Misionaris berbadan tinggi itu meletakkan tangannya di bahu anak laki-laki itu.

      “Kagawa San, apakah kamu seorang pengecut?”

      “Tidak,” kata Toyohiko, mendongak. “Saya bukan seorang pengecut. Maukah kau membaptis aku?”

Miskin di Saku  

      Dia menangkupkan tangannya yang gemetar dan menundukkan kepalanya ketika kalimat marah dari pamannya terlontar kepadanya.

      “Saya mengambil kamu ketika ayahmu meninggal. Dan saya berencana untuk menjadikanmu pewaris utama! Dan lihat bagaimana kamu mengkhianati saya!” pamannya berteriak.

      “Abangmu tidak berguna, tapi kamu—kamu menjadi harapanku. Sekarang kamu sudah hilang bagiku. Jangan pernah aku melihatmu lagi.”

      Setelah Toyohiko dikucilkan oleh pamannya. Profesor Myers menolong anak yatim piatu yang tidak mempunyai uang itu untuk mendapatkan beasiswa ke sebuah universitas Kristen di Tokyo. Akan tetapi Toyohiko, seorang Kristen yang baru, tidak bertindak seperti mahasiswa lain yang ada di Universitas Meiji. Dia selalu menolong siapa saja dan apa saja. Ketika seekor anjing kampung yang sakit berjalan ke kampus, mahasiswa itu mengadopsinya.

      “Saya harus memeliharanya,” katanya. “Tidak seorang pun yang akanmelakukannya.”

      “Para pengemis di daerah itu segera tahu bahwa ada seorang mahasiswa bodoh yang akan memberikan apa saja yang dia punya. Segerombolan pria compang-camping mulai mengunjungi asrama.

      “Bau apa itu yang begitu tidak enak?” salah seorang teman sekelasnya bertanya kepadanya suatu hari. Sekelompok mahasiswa pun menggeledah asrama. Mereka menemukan seorang gelandangan yang terluka tidur di atas selimut di dalam kamar Toyohiko.

      “Ini adalah kesempatan terakhir, Kagawa San,” kata salah seorang profesor. “Mulai sekarang, batasi tindakan kekristenanmu untuk berdoa dan puasa.”

      Ketika dia berumur 20, Toyohiko pergi ke Kobe. Teman lamanya Harry Myers mengajar di seminari Presbyterian di sana. Toyohiko adalah mahaiswa yang baik, namun dia tidak mau berada di asrama.

      “Untuk menjadi seperti Yesus saya harus hidup dengan orang-orang miskin,” dia berkata kepada Profesor Myers.

Hidup Seperti Yesus   

      Pada hari Natal dia mengangkat buku-buku dan barang-barang kepunyaannya ke dalam gerobak dan pindah ke sebuah ruangan berukuran 6 x 6 kaki di daerah kumuh Shinkawa. Ketika Toyohiko menggelar tempat tidurnya, kutu busuk dan kutu-kutu merangkak keluar dari lantai tikar jerami dan ikut bersama-sama dengannya di dalam selimut.

      Kira-kira tengah malam tiba-tiba dia terbangun. Pintu dari kardus itu tergeser. Dan dalam keadaan pintu yang terbuka dia dapat melihat kepala berambut kusut, matanya yang tajam mengintip sekeliling kamarnya yang kecil.

      “Ini cukup besar untuk satu orang,” gelandangan itu berkata. “Aku akan pindah ke dalam.”

      Beberapa hari kemudian seorang pembunuh pindah ke dalam. Dia telah selesai menjalani hukuman penjara. Saat itu dia begitu takut kalau-kalau hantu dari korbannya akan menemukannya. Dia menyambar tangan Toyohiko dan memegangnya semalaman.

      Seorang pemabuk juga ikut bergabung di kamar itu, dan kemudian seorang yang terlantar dengan penyakit trakoma, penyakit mata yang bisa menular. Toyohiko tertular penyakit itu. Selama sisa hidupnya dia hampir saja buta. Dia menggunakan sebuah kaca pembesar untuk membaca dengan satu matanya yang masih sehat.

      Kemudian, seorang bayi ditinggalkan di pintunya. Kagawa duduk bersamanya sepanjang malam, berusaha keras agar dia bertahan hidup.

      Para tunawisma yang tidak dapat memaksakan langkahnya ke lantai tikar yang sempit hanya datang ke pintu geser. Mereka meminta makanan dan pakaian. Kagawa memberi mereka semua bubur dan pakaian yang dia punya.

      Hari berlalu dan kemudian dia menjadi seorang mahasiswa di seminari Presbyterian. Setiap malam dia pergi ke jalan-jalan untuk mengkhotbahkan kabar baik kepada orang miskin di Shinkawa. Tangan yang telah memelihara serangga dan anjing-anjing kampung  itu sekarang telah memerban—memakaikan perban di—luka para pengemis dan menyuapkan bubur ke dalam mulut mereka yang terlalu lemah untuk makan sendiri.

      “Oh, Tuhan,” doanya sewaktu dia masih kecil, “jadikan aku seperti Yesus.” Selama sisa hidupnya, Toyohiko berusaha untuk menghidupi doa itu.

 

Artikel bersumber dari : New Life in the City, Club House Magazine.

Posted in Cerita Alkitab, Cerita Sekolah Minggu
Tags: , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *

5,631 Spam Comments Blocked so far by Spam Free Wordpress

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.