Ketika Lampu Mati

Ketika Lampu Mati

Cerita      : Kak Widya

Illustrasi : Kak Heru

Papa, Mama, Nadia, dan Dodi baru saja selesai makan malam. Mama baru saja menaruh piring gelas yang kotor di bak cuci piring ketika listrik tiba-tiba padam.

“Wah, aku baru saja mau membaca buku cerita,” keluh Dodi.

“Dan aku mau mengerjakan prakarya tusuk silang,” kata Nadia. Aduuuh, kok mati lampu sih? Sampai kapan nyalanya?”

“Tenang saja. Papa akan menyalakan lampu darurat di ruang tamu. Kita bisa berkumpul di sana. Papa punya cerita yang bagus,” kata Papa. Suara Papa yang bersemangat menghilangkan kekesalan anak-anak.

Keluarga itu pun berkumpul di ruang tamu. Lampu darurat lumayan memberikan penerangan.

“Ayo, Pa, cerita sekarang,” pinta Dodi. “Katanya ada cerita bagus.”

“Ya, kemarin Papa baca di Internet. Ada seorang pemuda yang baru percaya Yesus. Ia sangat rajin baca Alkitab. Tapi sebulan kemudian ia menjadi korban ledakan bom. Mata pemuda itu buta dan kedua tangannya hancur,” Papa memulai ceritanya.

“Aduh, kasihan sekali. Apakah orangnya benar-benar ada?” tanya Nadia.

“Iya, namanya tak disebutkan. Ia tinggal di kota Kansas, Amerika. Nah, pemuda ini sangat rindu membaca Alkitab. Setelah sembuh dari musibah tersebut, ia mendengar tentang orang yang buta yang membaca Alkitab dalam huruf Braille. Orang itu juga tidak punya tangan dan membaca dengan bibirnya. Jadi ia memesan Alkitab dalam huruf Braille.”

“Namun ketika pesanannya datang, bibirnya tidak bisa merasakan hhuruf-huruf Braille itu, karena saraf di bibirnya sudah mati. Pemuda itu sangat kecewa. Tapi setiap hari ia mencoba dan mencoba terus. Suatu ketika secara tak sengaja, lidahnya menyentuh huruf-huruf Braille itu dan ia bisa merasakannya.”

“Pemuda itu sangat gembira dan bersyukur kepada Tuhan. Jadi ia bisa membaca Alkitab dengan lidahnya dan waktu kisah tersebut dimasukkan ke Internet, ia sudah membaca seluruh Alkitab sebanyak empat kali,” demikian cerita Papa.

“Ck, ck, ck, hebat sekali!” kata Nadia. “Kalau Alkitab begitu penting baginya, aku juga mestinya baca Alkitab tiap hari.”

“Iya, Firman Tuhan itu memberi kekuatan dalam kita menjalani hari-hari kita,” kata Mama. “Mulailah baca Alkitab tiap hari.”

“Sekarang giliran Mama bercerita,” Papa mengingatkan.

“Mama tidak punya cerita. Tapi ada lagu yang Mama sukai. Lagu ini selalu mengingatkan Mama akan kebaikan Tuhan yang selalu mencukupi kebutuhan kita,” kata Mama. “Mama nyanyi saja, ya?” Yang lain mengangguk setuju.

Mama mulai menyanyi: “Mulia setiamu, ya Allah Bapa. Tak selintas pun sinar-Mu lenyap.     …Yang kuperlukan telah tersedia. Mulia setia-Mu, ya Tuhanku.”

Ketika Mama menyanyikan bait kedua, yang lain ikut menyanyi. Suasana menjadi hangat. Walaupun mati lampu, sukacita mereka tidak terbendung. Setelah itu Dodi mengusulkan lagu lain, dan kemudian Nadia mengusulkan lagu rohani lainnya.

“Wah, walaupun mati lampu, kita mendapat berkat Tuhan,” kata Papa dengan gembira. Kalau ada listrik, kita sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sekali-sekali kita perlu mengadakan acara seperti ini lagi.”

“Sekarang giliran Nadia,” Mama mengingatkan.

“Aku juga tidak punya cerita. Aku akan beritahu salah satu ayat Alkitab yang kusuka: ‘Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetian-Mu. Ini dari Ratapan 3:22-23,” kata Nadia.

“Aku belajar ini dari Nenek. Jadi jika kita bangun pagi, kita ingat bahwa Tuhan itu baik dan Tuhan akan sediakan segala yang baik untuk kita hari itu. Setelah itu baru aku doa pagi,” Nadia melanjutkan.

“Pa, temanku Elis masuk rumah sakit karena demam berdarah. Bisakah kita mendoakannya sekarang?” tanya Nadia lagi.

“Wah, itu bagus. Kita perlu mendoakan orang-orang lain setiap hari. Jangan hanya berdoa untuk minta keperluan kita sendiri saja. Mari kita doakan,”kata Papa. Maka semua orang melipat tangan, menutup mata, dan mendoakan Elis.

Setelah selesai berdoa, semua memandang Dodi.

“Sekarang giliranmu, Dod,” kata Nadia. Papa menganggukkan kepala memberikan semangat.

“Jadinya seperti kebaktian. Ada Firman Tuhan, ada pujian, ada doa,” kata Dodi. “Semua sudah lengkap, aku juga tak punya cerita.”

“Kalau begitu, apakah kita mau nyanyi lagi?” tanya Mama.

“Biar Dodi berpikir dulu,” kata Papa. Dodi kelihatan ragu-ragu, tetapi kemudian ia berkata, “Sebenarnya ada yang kuinginkan. Boleh aku bilang terus terang?” tanya Dodi.

Papa memandang Mama. Mereka tersenyum.

“Kamu mau minta dibelikan HP, ya?” goda Nadia. Dodi menggeleng.

“Ayo, siapa yang bisa tebak keinginanku?” tiba-tiba Dodi jadi semangat. Suasana jadi meriah.

“Sepatu baru!” kata Mama. Dodi menggeleng.

“Pergi tamasya ke Taman Stroberi!” terka Nadia lagi. Dan belum seorang pun yang berhasil menerka keinginan Dodi. Akhirnya semua menyerah kalah dan minta Dodi memberitahukan jawabannya.

“Aku mau supaya kita meminjamkan lampu darurat untuk Bu Mimi, tetangga kita. Dia punya bayi dan itu sangat berguna karena cahayanya lebih terang. Kita bisa pakai lilin. Apakah boleh?” kata Dodi.

Mama memeluk Dodi. Papa tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Lengkap sudah. Kita sudah menyanyi memuji Tuhan, berdoa dan mendengar Firman Tuhan. Dan sekarang kita melaksanakannya,” kata Papa.

“Mati lampu pun bisa membuat hati kita senang,” kata Nadia dengan wajah berseri-seri.

Dodi mengantarkan lampu darurat itu dan kembali ke rumah. Tak lama kemudianterdengar suara anak-anak tetangga berseru, “Horeeee!” Byaaar, listrik menyala.

Posted in Cerita Sekolah Minggu, Sekolah Minggu
Tags: , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *

5,386 Spam Comments Blocked so far by Spam Free Wordpress

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.