Tahun 385 Uskup Ambrosius Menentang Ratu
Di Milan, prajurit-prajurit mengepung katedral. Uskup Ambrosius diperintahkan Ratu Justina untuk melepaskan kendali atas gedung tersebut, namun ia menolak. Para pengawal kaisar, orang Jerman, melaksanakan perintah itu dengan paksa. Orang-orang Jerman tersebut bukan saja menunjukkan kesetiannya yang lain, tetapi mereka juga adalah pengikut Arius,s edangkan sang uskup berpegang teguh pada ajaran Ortodoks dari Konsili Nicea.
Banyak orang mengira bahwa akan ada suatu pembantaian umat yang berada di gedung katedral itu, namun orang-orang yang menonton di luar gereja mendengar mazmur yang berkumandang lewat udara. Kekuatan kekaisaran disambut dengan iman yang tenang.
Orang yang menjadi pusat pertikaian ini adalah Uskup Ambrosius, salah satu pemimpin Gereja yang tangguh, yang pernah dimiliki oleh Gereja, anak seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Konstantinus. Pemuda Ambrosius sebenarnya dipersiapkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Setelah ia menyelesaikan studinya di bidang hukum, ia ditunjuk sebagai Gubernur Milan dan daerah sekitarnya. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang adil dan mampu menjadi pemimpin yang hebat.
Ketika Ambrosius memangku jabatan gubernur, orang yang menjadi uskup Milan adalah Auxentius, seorang pengikut Arius. Ia meninggal tahun 374, dan meledaklah kerusuhan ketika Gereja ingin memilih penggantinya. Sebagai seorang pejabat pemerintah, Ambrosius pergi untuk melerai pertikaian tersebut.
Dari kerumunan massa, seseorang berteriak “Ambrosius saja uskupnya!” Yang lain mendukung suara tersebut dengan gemuruh.
Masalahnya ialah, Ambrosius belum dibaptis. Meskipun ia telah lama percaya kepada Kristus, ia masih seorang katekumen. Tidak masalah. Kehendak massa menyeretnya untuk dibaptis dan melewati beberapa jenjang perantara. Delapan hari kemudian ia diangkat sebagai uskup Milan.
Arianisme kehilangan kekuasaan. Kaisar Timur terakhir, Valens, yang menjagoi aliran itu, wafat pada tahun 378. Gratianus, Kaisar wilayah Barat, menunjuk Jenderal Theodosius untuk memerintah belahan Timur kekaisaran tersebut dari Konstantinopel. Pada tahun 380, kedua kaisar itu mengeluarkan perintah yang menyatakan kekristenan Nicean sebagai agama resmi kekaisaran. Hal ini menjatuhkan sekte Aria secara efektif, kecuali di daerah pesisir, di antara orang-orang Goth dan di antara anggota keluarga kekaisaran.
Ambrosius memangku jabatan barunya sebagai uskup dengan serius. Ia mempelajari Kitab Suci dan para Bapa gereja dengan tidak henti-hentinya, dan ia pun mulai berkhotbah setiap hari Minggu. Sesungguhnya ia seorang orator yang baik, dans ekarang kata-katanya menyentuh lebih dalam lagi. Seseorang yang hidup pada zamannya, Basilius dari Kaesarea, menggambarkan Ambrosius sebagai “seorang terpelajar yang istimewa, keturunan tersohor, mulia dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan berpidato yang cukup mengagumkan semua orang di dunia ini”.
Salah seorang pengagumnya adalah Augustinus, seorang penulis pidato. Orang muda Kartago ini pernah mencoba-coba ajaran Manichaeisme dan dimanja oleh kaum kafir Roma. IA dikirim ke Milan sebagai seorang guru dan ahli pidato bagi kaisar remaja Valentinianus II. Pada zaman dulu, kekuasaan kaisar berpusat di Milan, sementara senat memegang tampuk pemerintahan di Roma. Para senator umumnya masih berpegang pada cara-cara kafir Romawi,, sedangkan para kaisar adalah Kristen. Besar kemungkinan Augustinus telah dikirim oleh para senator kafir untuk mempengaruhi kaisar muda itu.
Untuk kepentingan politik, Augustinus menjadi katekumen di Gereja Kristen. Dalam proses itu ia berkenalan dengan Ambrosius dan terkesan akan kesederhanaan serta wibawa uskup tersebut. Di kemudian hari, dengan disaksikan seorang pembantu Ambrosius, Augustinus dibaptis (bab berikut menceritakan lebih banyak tentang Augustinus).
Ambrosius juga dikenal sebagai seorang pemulis lagu. Bahkan pada abad keempat, musik dalam kebaktian menimbulkan kontroversi. Para kritikus khawatir eksperimen musik Ambrosius akan membuat orang tergila-gila menyanyikan pujian saja. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa saat Katedral Milan dikepung pada tahun 385, yang terdengar ialah puji-pujian. Besar kemungkinan salah seorang penyanyinya adalah Monica, ibunda Augustinus yang saleh.
Namun, ada wanita lain yang memicu konflik pada hari itu. Justina adalah ibunda Kaisar Valentinianus, yang juga merupakan penerus Gratianus sebagai penguasa kekaisaran Romawi bagian Barat. Ia merupakan kekuasaan di belakang takhta Valentinianus. Ia, sebagai seorang penganut ajaran Arius, ingin menuntut Katedral Ambrosius dan gedung gereja lainnya di Milan untuk digunakan oleh jemaat Arian. Ambrosius menolak. Kemudian kaisar mengirim pasukan. Maka banjir darah pun hampir terjadi.
Namun kemudian pasukan pun bubar. Tak seorang pun tahu sebabnya. Ada yang berspekulasi bahwa mungkin Ambrosius berhasil mengirim berita itu kepada Theodosius, seorang non-Arian yang gigih, yang memerintah bagian Timur. Mungkin, pesan yang mengancam Valentinianus, tentang murka Theodosius, membuat bocah itu menekan rencana ibunya, atau Justina mungkin hanya menggertak saja. Walau bagaimanapun, Ambrosius berani menghadapi sidang kerajaan itu dan menang.
Di kemudian hari, Ambrosius berani menghadapi seorang kaisar - kali ini Theodosius sendiri. Kaisar tersebut telah bertindak berlebihan pada kerusuhan di Tesalonika, dengan mengirim pasukan untuk membantai warganya. Ambrosius menganggap hal itu adalah perbuatan yang mengerikan. Ia mengucilkan Theodosius sampai ia menyesali perbuatannya. Ini adalah kesaksian akan keberanian Ambrosius dan kerendahan hati Theodosius, bahwa ia kembali ke katedral dengan berpakaian goni dan berlutut di hadapan sang uskup untuk minta pengampunan.
Pada suatu masa, Gereja berhadapan dengan penyiksaan para kaisar. Dengan Ambrosius, pola yang berbeda antara gereja dan negara mulai berkembang.
sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html
Leave a Reply